Kehidupan kita hari sangat luar biasa. Dari hal yang terkecil sampai yang terbesar merupakan keajaiban yang tak mampu di cerna oleh akal, tetapi dapat dipercaya dengan Qalbu. Penciptaan manusia contohnya, berawal hanya dari dipertemukannya air Mani dan sel ovum bisa menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk.
Tidak hanya itu, tetapi juga disempurnakan dengan kadarnya masing-masing dengan sesuai kegunaan dan fungsi dari setiap yang di bentuk. Memberikan Mata untuk Melihat, telinga untuk mendengar, Kaki untuk melangkah, semuanya disempurnakan dan juga ditentukan kadar kegunaannya
Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (Al – A’laa : 3-4)
Wajar jika hari ini kita patut bersyukur hanya kepada yang telah menciptakan dan menyempurnakan ciptaan-Nya. Tetapi apakah kita sebagai yang diciptakan telah banyak bersyukur? Sebuah pertanyaan besar yang mungkin jawabannya mayoritas adalah belum. Kita menyalahgunakan kenikmatan dan keajiban yang telah Allah berikan, kita menjadikan nafas yang berhembus untuk benda atau sesorang yang sesungguhnya mereka pun belum tentu bisa menolong dirinya sendiri. Terutama terhadap manusia, secara tidak sadar kita telah menyembah thagut dari orang yang kita cintai. Tanpa orang di cintai dan kehilangan mereka kita merasa diri menjadi tak berarti dan tak bermanfaat. Tanpa ada sapa dan pertemuan dengan yang dicintai merasa tak ada lagi semangat dan kehidupan terasa hampa dan sunyi. Kita menjadikan diri kita sangat berguna dan bermanfaat karena tujuan kita hanya ingin dilhat oleh seseorang yang di cintai, ketika mereka telah tiada atau tak lagi mencintai kita, maka kita tak lagi berusaha menjadi yang berguna dan bermanfaat,
Padahal kita telah mengikrarkan diri dan berjanji kepada Allah SWT dalam setiap shalat-shalat yang kita lakukan, apakah Do’a yang kita ikrarkan?
INNA SHALAATII WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAAHIRABBIL ‘AALAMIIN.
Sesungguhnya Sahalatku, Ibadahku, Hidupku Dan Matiku Semuanya Untuk Allah, Penguasa Alam Semesta.
Maka rasa syukur kita kepada Allah SWT atas keajaiban yang diberikan dalam hidup kita adala seluruh Nafas yang berhembus hanyalah Untuk allah SWT dan atas syariat yang Allah turunkan. Inilah yang paling mulia, sehingga kita bisa menjadi manusia bermanfaat sekalipun manusia memusuhi kita karena kita memiliki sang Rabb semesta Alam, Untuk-Mu Seluruh Nafas ini patut di tujukan hanya kepada Allah SWT, karena hanya Allah yang selalu ingat dengan hambanya, kita menjadi manusia yang selalu berguna dan bermanfaat karena nafas kita hanyalah untuk-Nya. apalagi allah akan memuliakan oarang-orang yang menjadikan setiap hembusan nafasnya hanya untuk mengabdi dan taat kepada Allah SWT. Bahkan kita akan merasakan kelezatan dalam hidup kita jika kita menjadikan dan mendedikasiakan setiap nafas ini hanya untuk Allah dan orang-orang yang mencintai Allah SWT.
“Kelezatan iman akan dirasakan oleh orang yang telah rela menjadikan Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai Rasul, dan Islam sebagai agama.”
Mengutip dari Qadhi Iyadh, Imam Nawawi berkata: “Makna hadits ini adalah imannya benar, jiwanya tenang dan batinnya tenteram. Karena keridhaannya kepada hal-hal yang disebutkan itu merupakan bukti ma’rifatnya, ketajaman pandangannya dan keceriaan hatinya. Sebab orang yang ridha terhadap sesuatu pasti merasa mudah melakukannya. Demikian pula seorang mukmin, apabila iman telah masuk ke dalam hatinya maka akan mudah baginya melakukan berbagai ketaatan kepada Allah dan merasa lezat dengannya. Wallahu A’lam.”
Nabi saw. bersabda:
‘Tiga hal yang jika ada dalam diri seseorang, berarti telah merasakan lezatnya iman, yaitu ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi apap pun, mencintai seseorang karena Allah semata, dan benci kembali kepada kekafiran seperti kebenciannya bila dilempar ke neraka setelah diselamatkan Allah darinya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Bila di hatimu tidak ada kelezatan yasng bisa kamu dapatkan dari amal yang kamu lakukan, maka curigailah hatimu. Karena Allah Maha Pemberi balasan.”
Maksudnya, Allah pasti membalas amal seseorang di dunia dengan kelezatan, pencerahan dan ketenangan yang ada di hatinya. Bila belum merasakan hal tersebut, berarti amalnya terkontaminasi.
Maka Untuk-Mu seluruh Nafas ini.
Baca Selengkapnya...
Bergegaslah dalam Kebaikan ( Ust. Amir Faisal Fath)
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al Abaqarah 148)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan fastabiqul khahiraat (bersegeralah dalam berbuat baik)..
Imam An Nawawi dalam kitabnya Riyadhush shalihiin meletakkan bab khusus dengan judul: Babul mubaadarah ilal khairaat wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqbaali ‘alaihi bil jiddi min ghairi taraddud (Bab bersegera dalam melakukan kebaikan, dan dorongan bagi orang-orang yang ingin berbuat baik agar segera melakukannya dengan penuh kesungguhan tanpa ragu sedikitpun). Lalu ayat yang pertama kali disebutkan sebagai dalil adalah ayat di atas. Perhatikan betapa Imam An Nawawi telah memahmi ayat tersebut sebegai berikut:
Pertama, bahwa melakukan kebaikan adalah hal yang tidak bisa ditunda, melainkan harus segera dikerjakan. Sebab kesempatan hidup sangat terbatas. Kematian bisa saja datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Karena itu semasih ada kehidupan, segeralah berbuat baik. Lebih dari itu bahwa kesempatan berbuat baik belum tentu setiap saat kita dapatkan. Karenanya begitu ada kesempatan untuk kebaikan, jangan ditunda-tunda lagi, tetapi segera dikerjakan. Karena itu Allah swt. dalam Al Qur’an selalu menggunakan istilah bersegeralah, seperti fastabiquu atau wa saari’uu yang maksudnya sama, bergegas dengan segera, jangan ditunda-tunda lagi untuk berbuat baik atau memohon ampunan Allah swt. Dalam hadist Rasulullah saw. Juga menggunakan istilahbaadiruu maksudnya sama, tidak jauh dari bersegera dan bergegas.
Dalam sebuah buku tentang kisah orang-orang saleh terdahulu diceritakan salah seorang dari mereka berpesan: maa ahbabta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat if’alhul yaum. Wamaa karihta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat utrukul yaum (apa yang kau suka untuk dibawa ke akhirat kerjakan sekarang juga. Dan apa yang kau suka untuk kau tidak suka untuk di bawa ke akhirat tinggalkan sekarang juga). Ini menggambarkan sebuah sikap kesigapan dalam memilah dan memilih perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Tentu secara fitrah tidak ada manusia yang suka membawa dosa-dosa ke akhirat, kecuali orang-orang yang sudah mati hatinya. Karena itu makna fastabiquu pada ayat di atas memang benar-benar sangat penting -kalau tidak mau dikatakan sebuah keniscayaan- untuk selalu kita amalkan.
Kedua, bahwa untuk berbuat baik hendaknya selalu saling mendorong dan saling tolong menolang. Imam An Nawawi mengatakan: wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqabaal ‘alaihi. Ini menunjukkan bahwa kita harus membangun lingkungan yang baik. Lingkungan yang membuat kita terdorong untuk kebaikan. Karena itu dalam hadits yang menceritakan seorang pembunuh seratus orang lalu ia ingin bertaubat, disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan taubat tersebut disyaratkan akan ia meninggalkan lingkungannya yang buruk. Sebab tidak sedikit memang seorang yang tadinya baik menjadi rusak karena lingkungan. Karena itu Imam An Nawawi menggunakan al hatstsu yang artinya saling mendukung dan memotivasi. Sebab dari lingkungan yang saling mendukung kebaikan akan tercipta kebiasaan berbuat baik secara istiqamah.
Lebih dalam jika kita renungkan makna ayat fastabiquu kita akan menemukan makna bahwa di mana kita memang harus menciptakan lingkungan. Sebab dalam kata tersebut terkandung makna “berlombalah”. Dalam perlombaan tidak mungkin sendirian, melainkan harus lebih dari satu atau lebih. Maka jika semua orang berlomba dalam kebaikan, otomatis akan tercipta lingkungan yang baik. Karena dalam ayat yang lain Allah swt. berfirman dalam surah Ali Imran,133: wasaari’uu ilaa maghfiratin mirrabbikum di sini Allah swt. menggunakan kalimat wa saari’uu diambil dari kata saa ra’a- yusaa ri’u maksudnya tidak sendirian, melainkan ada orang lain yang juga ikut bergegas. Seperti dhaaraba-yudhaaribu artinya saling memukul. Dalam makna ini tergambar keharusan adanya lingkungan di mana sejumlah orang saling bergegas untuk berbuat baik. Bagitu juga dalam surah Al Hadid, 21, Allah berfirman: saabiquu ilaa maghfiratin mirr rabbikum, katasaabiquu mengandung makna saling berlombalah. Suatu indikasi bahwa menciptakan lingkungan yang baik adalah sebuah keniscayaan.
Langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang baik ini adalah dengan memulai dari diri sendiri dan keluarga. Allah swt. berfirman: quu anfusakum wa ahliikum naaraa. Perhatikan dalam ayat ini, Allah swt hanya focus kepada diri sendisi dan keluarga dan tidak melebar kepada masyarakat luas dan Negara. Mengapa? Sebab inilah jalan terbaik dan praktis untuk memperbaiki sebuah bangsa. Kita harus memulai dari diri sendiri dan keluarga. Sebuah bangsa apapun hebatnya secara teknologi, tidak akan pernah bisa tegak dengan kokoh bila pribadi dan keluarga yang ada di lamanya sangat rapuh.
Ketiga, bahwa kesigapan melakukan kebaikan harus didukung dengan kesungguhan yang dalam. Imam An Nawawi mengatakan: bil jiddi min ghairi taraddud . Kalimat ini menunjukkan bahwa tidak mungkin kebaikan dicapai oleh seseorang yang setengah hati dalam mengerjakannya. Rasulullah saw. bersabda: baadiruu fil a’maali fitanan ka qitha’il lailill mudzlim, yushbihur rajulu mu’minan wa yumsii kaafiran, ,wa yumsii mu’minan wa yushbihu kaafiran, yabi’u diinahu bi ‘aradhin minad dunyaa (HR. Muslim). Dalam hadits ini Rasulullah saw. mendorong agar segera beramal sebelum datangnya fitnah, di mana ketika fitnah itu tiba, seseorang tidak akan pernah bisa berbuat baik. Sebab boleh jadi pada saat itu seseorang dipagi harinya masih beriman, tetapi pada sore harinya tiba-tiba menjadi kafir. Atau sebaliknya pada sore harinya masih beriman tetapi pada pagi harinya tiba-tiba menjadi kafir. Agama pada hari itu benar-benar tidak ada harganya, mereka menjual agama hanya dengan sepeser dunia.
Uqbah bin Harits ra. pernah suatu hari bercerita: “Aku shalat Ashar di Madinah di belakang Rasulullah saw. kok tiba-tiba selesai shalat Rasulullah segera keluar melangkahi barisan shaf para sahabat dan menuju kamar salah seorang istrinya. Para sahabat kaget melihat tergesa-gesanya Rasulullah. Lalu Rasulullah keluar, dan kaget ketika melihat para sahabatnya memandangnya penuh keheranan. Rasulullah saw. lalu bersabda: Aku teringat ada sekeping emas dalam kamar, dan aku tidak suka kalau emas tersebut masih bersamaku. Maka aku segera perintahkan untuk dibagikan kepada yang berhak (HR. Bukhari).
Dalam perang Uhud, kesigapan untuk berbuat baik seperti yang dicontohkan Rasulullah barusan, nampak sekali di tengah sahabat-sahabatnya. Jabir bin Abdillah meriwayatkan bahwa pernah salah seorang bertanya kepada Rasulullah saw.: Wahai Rasul, apa yang akan aku dapatkan jika aku terbunuh dalam peperangan ini? Rasulullah menjawab: Kau pasti dapat surga. Seketika orang tersebut melepaskan kurma yang masih di tangannya, lalu berangkat ke tengah medan tempur dengan tanpa ragu, lalu ia berperang sampai terbunuh. (HR. Bukhari-Muslim). Subhanallah, sebuah kenyataan dalam sejarah, di mana umat Islam harus memiliki kwalitas seperti ini.
Wallahu a’lam bishshawab
Baca Selengkapnya...
Dalam ayat ini Allah memerintahkan fastabiqul khahiraat (bersegeralah dalam berbuat baik)..
Imam An Nawawi dalam kitabnya Riyadhush shalihiin meletakkan bab khusus dengan judul: Babul mubaadarah ilal khairaat wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqbaali ‘alaihi bil jiddi min ghairi taraddud (Bab bersegera dalam melakukan kebaikan, dan dorongan bagi orang-orang yang ingin berbuat baik agar segera melakukannya dengan penuh kesungguhan tanpa ragu sedikitpun). Lalu ayat yang pertama kali disebutkan sebagai dalil adalah ayat di atas. Perhatikan betapa Imam An Nawawi telah memahmi ayat tersebut sebegai berikut:
Pertama, bahwa melakukan kebaikan adalah hal yang tidak bisa ditunda, melainkan harus segera dikerjakan. Sebab kesempatan hidup sangat terbatas. Kematian bisa saja datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Karena itu semasih ada kehidupan, segeralah berbuat baik. Lebih dari itu bahwa kesempatan berbuat baik belum tentu setiap saat kita dapatkan. Karenanya begitu ada kesempatan untuk kebaikan, jangan ditunda-tunda lagi, tetapi segera dikerjakan. Karena itu Allah swt. dalam Al Qur’an selalu menggunakan istilah bersegeralah, seperti fastabiquu atau wa saari’uu yang maksudnya sama, bergegas dengan segera, jangan ditunda-tunda lagi untuk berbuat baik atau memohon ampunan Allah swt. Dalam hadist Rasulullah saw. Juga menggunakan istilahbaadiruu maksudnya sama, tidak jauh dari bersegera dan bergegas.
Dalam sebuah buku tentang kisah orang-orang saleh terdahulu diceritakan salah seorang dari mereka berpesan: maa ahbabta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat if’alhul yaum. Wamaa karihta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat utrukul yaum (apa yang kau suka untuk dibawa ke akhirat kerjakan sekarang juga. Dan apa yang kau suka untuk kau tidak suka untuk di bawa ke akhirat tinggalkan sekarang juga). Ini menggambarkan sebuah sikap kesigapan dalam memilah dan memilih perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Tentu secara fitrah tidak ada manusia yang suka membawa dosa-dosa ke akhirat, kecuali orang-orang yang sudah mati hatinya. Karena itu makna fastabiquu pada ayat di atas memang benar-benar sangat penting -kalau tidak mau dikatakan sebuah keniscayaan- untuk selalu kita amalkan.
Kedua, bahwa untuk berbuat baik hendaknya selalu saling mendorong dan saling tolong menolang. Imam An Nawawi mengatakan: wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqabaal ‘alaihi. Ini menunjukkan bahwa kita harus membangun lingkungan yang baik. Lingkungan yang membuat kita terdorong untuk kebaikan. Karena itu dalam hadits yang menceritakan seorang pembunuh seratus orang lalu ia ingin bertaubat, disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan taubat tersebut disyaratkan akan ia meninggalkan lingkungannya yang buruk. Sebab tidak sedikit memang seorang yang tadinya baik menjadi rusak karena lingkungan. Karena itu Imam An Nawawi menggunakan al hatstsu yang artinya saling mendukung dan memotivasi. Sebab dari lingkungan yang saling mendukung kebaikan akan tercipta kebiasaan berbuat baik secara istiqamah.
Lebih dalam jika kita renungkan makna ayat fastabiquu kita akan menemukan makna bahwa di mana kita memang harus menciptakan lingkungan. Sebab dalam kata tersebut terkandung makna “berlombalah”. Dalam perlombaan tidak mungkin sendirian, melainkan harus lebih dari satu atau lebih. Maka jika semua orang berlomba dalam kebaikan, otomatis akan tercipta lingkungan yang baik. Karena dalam ayat yang lain Allah swt. berfirman dalam surah Ali Imran,133: wasaari’uu ilaa maghfiratin mirrabbikum di sini Allah swt. menggunakan kalimat wa saari’uu diambil dari kata saa ra’a- yusaa ri’u maksudnya tidak sendirian, melainkan ada orang lain yang juga ikut bergegas. Seperti dhaaraba-yudhaaribu artinya saling memukul. Dalam makna ini tergambar keharusan adanya lingkungan di mana sejumlah orang saling bergegas untuk berbuat baik. Bagitu juga dalam surah Al Hadid, 21, Allah berfirman: saabiquu ilaa maghfiratin mirr rabbikum, katasaabiquu mengandung makna saling berlombalah. Suatu indikasi bahwa menciptakan lingkungan yang baik adalah sebuah keniscayaan.
Langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang baik ini adalah dengan memulai dari diri sendiri dan keluarga. Allah swt. berfirman: quu anfusakum wa ahliikum naaraa. Perhatikan dalam ayat ini, Allah swt hanya focus kepada diri sendisi dan keluarga dan tidak melebar kepada masyarakat luas dan Negara. Mengapa? Sebab inilah jalan terbaik dan praktis untuk memperbaiki sebuah bangsa. Kita harus memulai dari diri sendiri dan keluarga. Sebuah bangsa apapun hebatnya secara teknologi, tidak akan pernah bisa tegak dengan kokoh bila pribadi dan keluarga yang ada di lamanya sangat rapuh.
Ketiga, bahwa kesigapan melakukan kebaikan harus didukung dengan kesungguhan yang dalam. Imam An Nawawi mengatakan: bil jiddi min ghairi taraddud . Kalimat ini menunjukkan bahwa tidak mungkin kebaikan dicapai oleh seseorang yang setengah hati dalam mengerjakannya. Rasulullah saw. bersabda: baadiruu fil a’maali fitanan ka qitha’il lailill mudzlim, yushbihur rajulu mu’minan wa yumsii kaafiran, ,wa yumsii mu’minan wa yushbihu kaafiran, yabi’u diinahu bi ‘aradhin minad dunyaa (HR. Muslim). Dalam hadits ini Rasulullah saw. mendorong agar segera beramal sebelum datangnya fitnah, di mana ketika fitnah itu tiba, seseorang tidak akan pernah bisa berbuat baik. Sebab boleh jadi pada saat itu seseorang dipagi harinya masih beriman, tetapi pada sore harinya tiba-tiba menjadi kafir. Atau sebaliknya pada sore harinya masih beriman tetapi pada pagi harinya tiba-tiba menjadi kafir. Agama pada hari itu benar-benar tidak ada harganya, mereka menjual agama hanya dengan sepeser dunia.
Uqbah bin Harits ra. pernah suatu hari bercerita: “Aku shalat Ashar di Madinah di belakang Rasulullah saw. kok tiba-tiba selesai shalat Rasulullah segera keluar melangkahi barisan shaf para sahabat dan menuju kamar salah seorang istrinya. Para sahabat kaget melihat tergesa-gesanya Rasulullah. Lalu Rasulullah keluar, dan kaget ketika melihat para sahabatnya memandangnya penuh keheranan. Rasulullah saw. lalu bersabda: Aku teringat ada sekeping emas dalam kamar, dan aku tidak suka kalau emas tersebut masih bersamaku. Maka aku segera perintahkan untuk dibagikan kepada yang berhak (HR. Bukhari).
Dalam perang Uhud, kesigapan untuk berbuat baik seperti yang dicontohkan Rasulullah barusan, nampak sekali di tengah sahabat-sahabatnya. Jabir bin Abdillah meriwayatkan bahwa pernah salah seorang bertanya kepada Rasulullah saw.: Wahai Rasul, apa yang akan aku dapatkan jika aku terbunuh dalam peperangan ini? Rasulullah menjawab: Kau pasti dapat surga. Seketika orang tersebut melepaskan kurma yang masih di tangannya, lalu berangkat ke tengah medan tempur dengan tanpa ragu, lalu ia berperang sampai terbunuh. (HR. Bukhari-Muslim). Subhanallah, sebuah kenyataan dalam sejarah, di mana umat Islam harus memiliki kwalitas seperti ini.
Wallahu a’lam bishshawab
Baca Selengkapnya...
Kita Dan Dajjal
Akan sangat sulit bagi umat Islam bila tidak ingin dikatakan bahwa tidak mungkin, umat mampu memahami kondisi yang melingkupinya saat ini, memosisikan dirinya, dan kemudian mengambil langkah-langkah strategis dan antisipatif menghadapi perkembangan terkini dalam peperangan sebenarnya antara keimanan dan kekufuran, tanpa umat melihatnya dengan perspektif akhir zaman, skenario Hari Akhir, dan fitnah Dajjal.
Selama umat tidak mengambil secara serius apa yang telah dikabarkan dan diperingatkan oleh Rasulnya, Muhammad SAW, mengenai berbagai fenomena, tanda-tanda, dan fitnah akhir zaman, maka selama itu pula umat akan lalai dan tidak pernah menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi, membawa mereka terus pulas dalam tidur panjangnya, terbuai oleh mimpi-mimpi indah dari musuhnya, hingga kemudian berpikir di mimpi itulah mereka telah bangun. Orang yang bermimpi telah bangun, tetap saja adalah orang yang tidur !
Ketika Dajjal berperan sebagai tuhan, maka ia tidak akan melakukannya dengan sebuah deklarasi, proklamasi, atau apapun yang semacamnya, tetapi cukuplah baginya ketika manusia mengikuti cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar hidup yang telah dibawanya. Ketika manusia 'patuh' dan 'taat' atas apa yang dibawanya, maka telah terpenuhi syarat bahwa ia telah menjadi tuhan bagi manusia dan manusia telah menyembah Dajjal.
Semakin banyak manusia yang hidup dengan cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar Dajjal, maka semakin banyak pula pengikutnya. Hingga ketika sampai pada kondisi di mana hampir seluruh manusia di muka bumi ini mematuhi cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar yang diperkenalkan olehnya, maka Dajjal akan membuat jalan untuk menjadi pengikutnya dan tetap menjadi pengikutnya adalah jalan yang paling mudah dan sekaligus nyaman, sedangkan jalan untuk menolak cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar Dajjal adalah jalan yang paling sulit, memiliki risiko paling tinggi, bahkan bisa mengorbankan segala yang telah dimiliki sebelumnya, hingga yang tersisa pada manusia itu hanya keimanannya.
Sesungguhnya logika berpikir yang paling mempengaruhi manusia dari teori evolusi bukanlah mengenai asal-usul manusia, tetapi ketika berpikir bahwa perjalanan waktu yang lama telah membawa manusia kini menjadi lebih beradab, lebih cerdas, lebih pandai, lebih berakal ketimbang manusia yang hidup jauh di masa sebelumnya. Manusia dan zamannya telah berevolusi. Manusia dan zamannya kini adalah sistem yang jauh lebih maju dan reliable, sedangkan manusia dan zaman sebelumnya adalah sistem yang primitif.
Cara berpikir ini akan menjadikan manusia tidak terlintas sedikitpun dalam pikirannya untuk mengalami hidup seperti zaman di belakangnya, karena bagi mereka itu berarti kemunduran, keluar dari logika kemajuan. Bagi mereka yang menerima cara berpikir Dajjal ini, maka mereka akan mudah menerima apapun yang ditawarkan oleh zaman mereka sebagai produk kemajuan, baik itu cara hidup atau prosedur atau aturan atau mekanisme atau standar hidup. Segalanya akan diterima sebagai konsekuensi zaman yang semakin maju, beradab, dan reliable.
Pertanyaan bagi Umat Islam, benarkah manusia dan zamannya kini lebih maju, lebih cerdas, lebih beradab, ketimbang manusia dan zaman 1432 tahun yang lalu? Lebih dari empat belas abad telah berlalu, benarkah manusia dan zamannya kini lebih reliable ketimbang manusia dan zaman pada generasi Rasulullah SAW dan para sahabat?
Dajjal adalah pendusta, maka ia akan menampilkan muslihat sehingga manusia tidak perlu menyadari kenyataan yang sebenarnya, cukup mengetahui dari sekedar yang terlihat dan ditampilkan. Misi Dajjal adalah menipu manusia. Tipuan yang paling hebat adalah ketika yang ditipu tidak pernah menyadari bahwa ia telah ditipu, bahkan ia akan membuang jauh-jauh segala kemungkinan bahwa sebenarnya ia sedang dalam keadaan ditipu.
Sistem Dajjal adalah segala perangkat yang bertujuan membawa manusia pada kekufuran, menghilangkan segala keterkaitan hidup dengan Yang Telah Mengaruniakan hidup, dan walaupun segala fenomenanya adalah pertanda betapa sudah dekatnya Hari Akhir, tetapi manusia justru akan lalai terhadapnya, dan hidup seolah-olah roda peradaban mereka akan terus berputar, tidak mengenal titik pemberhentian dan kehancuran.
Ketika Malaikat Jibril memberi pelajaran kepada umat ini mengenai Dien mereka, pengetahuan mengenai Hari Kiamat memang hanya ada pada ALLAH semata, tetapi pertanyaan berikutnya yang ditujukan pada Rasulullah SAW justru adalah penekanannya, karena diharapkan umat ini waspada terhadap segala tanda-tanda Hari Kiamat.
Dalam mengukur sesuatu baik atau buruk, mengalami kemajuan atau kemunduran, Sistem Dajjal akan menggunakan segala parameter yang tersedia, tetapi ia akan meninggalkan satu parameter, yaitu keimanan. Ketika hendak mengukur kemajuan peradaban masyarakat, maka Dajjal akan mengajarkan bahwa lihatlah apakah di tengah-tengah mereka ada bangunan-bangunan tinggi.
Semakin tinggi bangunan mereka, bahkan kalau bisa menembus langit, semakin majulah mereka, semakin berbanggalah mereka bahwa layaklah mereka menyandang predikat masyarakat yang telah maju, maka berlomba-lombalah untuk itu.
Ketika hendak mengukur prestasi seorang wanita, maka Dajjal akan mengajarkan bahwa prestasi wanita harus diukur dengan laki-laki sebagai pembanding. Dajjal mengajarkan bahwa wanita harus bisa seperti lelaki, bahkan kalau perlu berperan sebagai pria. Dajjal tidak akan mengajarkan bahwa wanita dan pria sejatinya adalah berbeda, layaknya malam dan siang, seperti langit dan bumi, tidak mungkin menjadi sama, dan karena itulah mereka saling membutuhkan untuk saling melengkapi.
Tetapi Dajjal akan mengajarkan bahwa wanita dan pria bisa dipertukarkan. Wanita bisa menjadi pria, menjalankan peran sebagai pria, dan begitu pula sebaliknya untuk setiap laki-laki. Sehingga wanita yang maju dalam Sistem Dajjal terlihat dari pakaiannya yang semakin tidak ada bedanya dengan pakaian laki-laki. Dajjal menghapus rasa malu dari wanita sehingga mereka tidak sungkan lagi untuk menampilkan diri mereka secara terbuka, terang-terangan, bahkan tidak ada lagi rasa sungkan ketika berkumpul, berdekatan, dan bercampur dengan kelompok laki-laki.
Sistem Dajjal akan menilai seseorang itu berilmu atau tidak dari lembaran kertas yang menjadi 'stempel' keilmuan, gelar bermacam-macam yang dibuat 'resmi', dan berbagai atribut-atribut lain yang begitu rumit dan kompleks. Tidaklah mengherankan jika di dalam Sistem Dajjal, kemajuan pendidikan dinilai dari jumlah pemilik 'kertas stempel' , jumlah pemilik gelar-gelar 'resmi', dan jumlah pemilik berbagai atribut keilmuan. Sehingga menjadi wajar dalam Sistem Dajjal, akan sulit dibedakan antara menuntut ilmu, menuntut gelar, menuntut kedudukan dan status, menuntut pangkat, dan menuntut pundi-pundi pengisi perut.
Sistem Dajjal akan membuat negeri-negeri yang kaya dengan berbagai sumber daya alamnya bingung dengan karunia yang mereka miliki karena tidak bisa mendatangkan kesejahteraan. Sistem Dajjal akan memaksa negeri-negeri yang berlimpah kekayaan alamnya untuk berpikir bahwa walaupun mereka memiliki segalanya sebagai sumber penghidupan, tetapi mereka tidak bisa begitu saja menggunakannya. Satu-satunya jalan menuju kesejahteraan mereka adalah dengan menjadi hamba dan budak dari manusia-manusia lain yang tidak memiliki seperti apa yang mereka punyai. Sistem Dajjal akan begitu ramah memberikan penjelasan mengenai cara perbudakan, mekanisme perbudakan, dan aturan perbudakan, bahkan mereka dengan senang hati akan menerima bila si hamba meminta mereka menjadi sang tuan.
Sistem Dajjal akan mengupah manusia-manusia tiap negeri untuk menguras isi alamnya dan mereka akan membayarnya dengan tumpukan kertas yang tidak mempunyai nilai dan kegunaan apapun. Negeri yang semula kaya dengan sumber daya alamnya kemudian mendapati isi alamnya terkuras habis dan dengan bangganya berpikir mereka bisa hidup menggunakan tumpukan kertas-kertas sebagai imbalan dari manusia-manusia yang telah memperbudak mereka.
Sistem Dajjal akan menghidupkan kegiatan ekonomi, perdagangan, dan sistem keuangan yang jantungnya adalah riba. Sistem Dajjal akan membuat setiap manusia sulit untuk bisa berlepas diri dari riba, hingga sekalipun manusia itu berusaha menghindar dari riba, debu-debu riba tetap akan sampai kepadanya. Transaksi yang berdasar atas saling tidak percaya, berpikir hanya untuk menguntungkan diri sendiri walaupun orang lain mengalami kerugian, dan serakah hingga berusaha untuk memonopoli dan selalu berusaha menjatuhkan setiap pesaing dengan berbagai cara 'kreatif' adalah penggerak kegiatan perdagangan dalam Sistem Dajjal.
Sistem Dajjal akan menciptakan uang yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam sejarah. Dajjal menciptakan uang yang created out of nothing. Cukup dengan mencetak angka-angka pada kertas, Dajjal memaksa manusia untuk percaya bahwa sekarang kertas-kertas itu telah bernilai. Peluh keringat, komoditas sumber daya alam dan olahannya, serta hasil kerja keras dibayar dengan sesuatu yang nothing. Yang menguasai peredaran 'uang' dialah yang berkuasa, mengatur, dan menjadi tuan. Selainnya hanya merupakan pion-pion dalam permainan Dajjal.
Sistem Dajjal akan membuat cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar hidup yang rumit. Manusia tidak bisa mengerti cara kerjanya, karena itulah lebih baik mereka tidak usah terlalu memikirkan apa yang dibawa Dajjal, cukup jalani saja, karena hampir seluruh manusia di muka bumi juga melakukan yang sama.
Cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar hidup Dajjal dibuat bukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi untuk memecah masalah menjadi berbagai masalah-masalah kecil, dan kemudian membuatnya berkembang menjadi masalah-masalah baru dan besar, kemudian membaginya kembali dan berkembang kembali masalah-masalah baru, begitu seterusnya.
Sistem Dajjal akan memproduksi manusia-manusia yang sudah dididik untuk melihat masalah secara parsial, tidak komprehensif. Dengan demikian manusia akan selalu bergantung pada Sistem Dajjal, karena manusia tidak pernah bisa meyelesaikan permasalahannya.
Dajjal akan mengajak manusia untuk berlomba-lomba dengan apa yang mereka sebut industri. Daya tarik Sistem Industri Dajjal adalah ketika segala sesuatu bisa dijadikan industri, sehingga sangat terbuka peluang untuk menjadi 'kreatif'. Politik menjadi industri, pendidikan menjadi industri, kehidupan rumah tangga menjadi industri, kehidupan privasi menjadi industri, anak-anak menjadi industri, kaum dhuafa menjadi industri, agama menjadi industri, pertemanan menjadi industri, hobi menjadi industri, hiburan menjadi industri, dan sungguh masih banyak lagi, kebanyakan adalah hal-hal yang sebenarnya tidak memiliki manfaat signifikan bagi manusia kalau tidak mau dikatakan lebih banyak kesia-siaan. Tetapi dengan berbagai industri yang tidak akan habis komoditasnya ini, Dajjal membuat manusia percaya bahwa dari sinilah mereka bisa menggantungkan hidup mereka.
Apapun bentuk dan tampilannya, Sistem Dajjal adalah sistem yang membawa manusia pada kekufuran. Sekalipun muslim, Sistem Dajjal akan membuat seorang muslim bisa beriman dan kufur secara periodik. Sedangkan Islam membawa pada keimanan dan keselamatan. Islam tidak membutuhkan apa-apa yang begitu melimpah dan melekat pada Sistem Dajjal.
Islam amat sederhana, sehingga bila ia diterapkan secara kaffah, manusia yang sudah terbiasa dengan Sistem Dajjal akan terheran-heran betapa banyak hal dan perangkat-perangkat yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Parameter untuk mengukur baik-buruk dan maju-mundurnya sesuatu dalam Islam adalah hanya keimanan pada ALLAH dan rasul-Nya. Manusia yang baik adalah manusia yang beriman kepada ALLAH dan rasul-Nya.
Peradaban yang maju adalah yang membuat manusianya beriman kepada ALLAH dan rasul-Nya. Cukup, Islam tidak butuh selain dari itu. Kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam dilihat dari semakin tertanamnya rasa takut kepada ALLAH, itu sudah cukup, dan Islam tidak butuh selain dari itu.
Sungguh jalan yang menghubungkan generasi Rasulullah SAW dan para sahabat dengan generasi kita telah diputus oleh Dajjal dengan membangun tembok yang sangat tebal dan tinggi, sehingga membuat kita tidak bisa mengenal lagi jalan untuk kembali pada apa yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Dajjal hanya memperkenankan kita untuk bisa mengenang generasi Rasulullah SAW dan para sahabat, tetapi tidak untuk kembali pada jalan yang telah ditapaki oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Satu-satunya cara bagi kita untuk kembali pada jalan Rasulullah SAW dan para sahabat itu adalah dengan menghancurkan dan merobohkan tembok kemapanan Dajjal. Setinggi, setebal dan sekuat apapun tembok itu harus dihancurkan. Hanya mental jihad pasukan Badar yang bisa melakukan itu.
Islam adalah apa yang berasal dari ALLAH dan rasul-Nya, Muhammad SAW. Tidak ada Islam versi Dajjal. Hanya ada dua pilihan, menjadi Pengikut Muhammad SAW, atau menjadi Pengikut Al Masih Ad Dajjal. Suatu saat pilihan ini akan sangat tegas dan memaksa kita untuk memilih salah satu darinya.
“Telah semakin dekat kepada manusia perhitungan amal mereka, sedang mereka dalam keadaan lalai (dengan dunia), berpaling (dari akhirat). “ (Q.S. Al Anbiya : 1)
“Sungguh telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab (Al Quran) yang di dalamnya terdapat peringatan bagimu. Maka apakah kamu tidak mengerti ?” (Q.S. Al Anbiya : 10)
Sumber Eramuslim
Baca Selengkapnya...
Selama umat tidak mengambil secara serius apa yang telah dikabarkan dan diperingatkan oleh Rasulnya, Muhammad SAW, mengenai berbagai fenomena, tanda-tanda, dan fitnah akhir zaman, maka selama itu pula umat akan lalai dan tidak pernah menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi, membawa mereka terus pulas dalam tidur panjangnya, terbuai oleh mimpi-mimpi indah dari musuhnya, hingga kemudian berpikir di mimpi itulah mereka telah bangun. Orang yang bermimpi telah bangun, tetap saja adalah orang yang tidur !
Ketika Dajjal berperan sebagai tuhan, maka ia tidak akan melakukannya dengan sebuah deklarasi, proklamasi, atau apapun yang semacamnya, tetapi cukuplah baginya ketika manusia mengikuti cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar hidup yang telah dibawanya. Ketika manusia 'patuh' dan 'taat' atas apa yang dibawanya, maka telah terpenuhi syarat bahwa ia telah menjadi tuhan bagi manusia dan manusia telah menyembah Dajjal.
Semakin banyak manusia yang hidup dengan cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar Dajjal, maka semakin banyak pula pengikutnya. Hingga ketika sampai pada kondisi di mana hampir seluruh manusia di muka bumi ini mematuhi cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar yang diperkenalkan olehnya, maka Dajjal akan membuat jalan untuk menjadi pengikutnya dan tetap menjadi pengikutnya adalah jalan yang paling mudah dan sekaligus nyaman, sedangkan jalan untuk menolak cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar Dajjal adalah jalan yang paling sulit, memiliki risiko paling tinggi, bahkan bisa mengorbankan segala yang telah dimiliki sebelumnya, hingga yang tersisa pada manusia itu hanya keimanannya.
Sesungguhnya logika berpikir yang paling mempengaruhi manusia dari teori evolusi bukanlah mengenai asal-usul manusia, tetapi ketika berpikir bahwa perjalanan waktu yang lama telah membawa manusia kini menjadi lebih beradab, lebih cerdas, lebih pandai, lebih berakal ketimbang manusia yang hidup jauh di masa sebelumnya. Manusia dan zamannya telah berevolusi. Manusia dan zamannya kini adalah sistem yang jauh lebih maju dan reliable, sedangkan manusia dan zaman sebelumnya adalah sistem yang primitif.
Cara berpikir ini akan menjadikan manusia tidak terlintas sedikitpun dalam pikirannya untuk mengalami hidup seperti zaman di belakangnya, karena bagi mereka itu berarti kemunduran, keluar dari logika kemajuan. Bagi mereka yang menerima cara berpikir Dajjal ini, maka mereka akan mudah menerima apapun yang ditawarkan oleh zaman mereka sebagai produk kemajuan, baik itu cara hidup atau prosedur atau aturan atau mekanisme atau standar hidup. Segalanya akan diterima sebagai konsekuensi zaman yang semakin maju, beradab, dan reliable.
Pertanyaan bagi Umat Islam, benarkah manusia dan zamannya kini lebih maju, lebih cerdas, lebih beradab, ketimbang manusia dan zaman 1432 tahun yang lalu? Lebih dari empat belas abad telah berlalu, benarkah manusia dan zamannya kini lebih reliable ketimbang manusia dan zaman pada generasi Rasulullah SAW dan para sahabat?
Dajjal adalah pendusta, maka ia akan menampilkan muslihat sehingga manusia tidak perlu menyadari kenyataan yang sebenarnya, cukup mengetahui dari sekedar yang terlihat dan ditampilkan. Misi Dajjal adalah menipu manusia. Tipuan yang paling hebat adalah ketika yang ditipu tidak pernah menyadari bahwa ia telah ditipu, bahkan ia akan membuang jauh-jauh segala kemungkinan bahwa sebenarnya ia sedang dalam keadaan ditipu.
Sistem Dajjal adalah segala perangkat yang bertujuan membawa manusia pada kekufuran, menghilangkan segala keterkaitan hidup dengan Yang Telah Mengaruniakan hidup, dan walaupun segala fenomenanya adalah pertanda betapa sudah dekatnya Hari Akhir, tetapi manusia justru akan lalai terhadapnya, dan hidup seolah-olah roda peradaban mereka akan terus berputar, tidak mengenal titik pemberhentian dan kehancuran.
Ketika Malaikat Jibril memberi pelajaran kepada umat ini mengenai Dien mereka, pengetahuan mengenai Hari Kiamat memang hanya ada pada ALLAH semata, tetapi pertanyaan berikutnya yang ditujukan pada Rasulullah SAW justru adalah penekanannya, karena diharapkan umat ini waspada terhadap segala tanda-tanda Hari Kiamat.
Dalam mengukur sesuatu baik atau buruk, mengalami kemajuan atau kemunduran, Sistem Dajjal akan menggunakan segala parameter yang tersedia, tetapi ia akan meninggalkan satu parameter, yaitu keimanan. Ketika hendak mengukur kemajuan peradaban masyarakat, maka Dajjal akan mengajarkan bahwa lihatlah apakah di tengah-tengah mereka ada bangunan-bangunan tinggi.
Semakin tinggi bangunan mereka, bahkan kalau bisa menembus langit, semakin majulah mereka, semakin berbanggalah mereka bahwa layaklah mereka menyandang predikat masyarakat yang telah maju, maka berlomba-lombalah untuk itu.
Ketika hendak mengukur prestasi seorang wanita, maka Dajjal akan mengajarkan bahwa prestasi wanita harus diukur dengan laki-laki sebagai pembanding. Dajjal mengajarkan bahwa wanita harus bisa seperti lelaki, bahkan kalau perlu berperan sebagai pria. Dajjal tidak akan mengajarkan bahwa wanita dan pria sejatinya adalah berbeda, layaknya malam dan siang, seperti langit dan bumi, tidak mungkin menjadi sama, dan karena itulah mereka saling membutuhkan untuk saling melengkapi.
Tetapi Dajjal akan mengajarkan bahwa wanita dan pria bisa dipertukarkan. Wanita bisa menjadi pria, menjalankan peran sebagai pria, dan begitu pula sebaliknya untuk setiap laki-laki. Sehingga wanita yang maju dalam Sistem Dajjal terlihat dari pakaiannya yang semakin tidak ada bedanya dengan pakaian laki-laki. Dajjal menghapus rasa malu dari wanita sehingga mereka tidak sungkan lagi untuk menampilkan diri mereka secara terbuka, terang-terangan, bahkan tidak ada lagi rasa sungkan ketika berkumpul, berdekatan, dan bercampur dengan kelompok laki-laki.
Sistem Dajjal akan menilai seseorang itu berilmu atau tidak dari lembaran kertas yang menjadi 'stempel' keilmuan, gelar bermacam-macam yang dibuat 'resmi', dan berbagai atribut-atribut lain yang begitu rumit dan kompleks. Tidaklah mengherankan jika di dalam Sistem Dajjal, kemajuan pendidikan dinilai dari jumlah pemilik 'kertas stempel' , jumlah pemilik gelar-gelar 'resmi', dan jumlah pemilik berbagai atribut keilmuan. Sehingga menjadi wajar dalam Sistem Dajjal, akan sulit dibedakan antara menuntut ilmu, menuntut gelar, menuntut kedudukan dan status, menuntut pangkat, dan menuntut pundi-pundi pengisi perut.
Sistem Dajjal akan membuat negeri-negeri yang kaya dengan berbagai sumber daya alamnya bingung dengan karunia yang mereka miliki karena tidak bisa mendatangkan kesejahteraan. Sistem Dajjal akan memaksa negeri-negeri yang berlimpah kekayaan alamnya untuk berpikir bahwa walaupun mereka memiliki segalanya sebagai sumber penghidupan, tetapi mereka tidak bisa begitu saja menggunakannya. Satu-satunya jalan menuju kesejahteraan mereka adalah dengan menjadi hamba dan budak dari manusia-manusia lain yang tidak memiliki seperti apa yang mereka punyai. Sistem Dajjal akan begitu ramah memberikan penjelasan mengenai cara perbudakan, mekanisme perbudakan, dan aturan perbudakan, bahkan mereka dengan senang hati akan menerima bila si hamba meminta mereka menjadi sang tuan.
Sistem Dajjal akan mengupah manusia-manusia tiap negeri untuk menguras isi alamnya dan mereka akan membayarnya dengan tumpukan kertas yang tidak mempunyai nilai dan kegunaan apapun. Negeri yang semula kaya dengan sumber daya alamnya kemudian mendapati isi alamnya terkuras habis dan dengan bangganya berpikir mereka bisa hidup menggunakan tumpukan kertas-kertas sebagai imbalan dari manusia-manusia yang telah memperbudak mereka.
Sistem Dajjal akan menghidupkan kegiatan ekonomi, perdagangan, dan sistem keuangan yang jantungnya adalah riba. Sistem Dajjal akan membuat setiap manusia sulit untuk bisa berlepas diri dari riba, hingga sekalipun manusia itu berusaha menghindar dari riba, debu-debu riba tetap akan sampai kepadanya. Transaksi yang berdasar atas saling tidak percaya, berpikir hanya untuk menguntungkan diri sendiri walaupun orang lain mengalami kerugian, dan serakah hingga berusaha untuk memonopoli dan selalu berusaha menjatuhkan setiap pesaing dengan berbagai cara 'kreatif' adalah penggerak kegiatan perdagangan dalam Sistem Dajjal.
Sistem Dajjal akan menciptakan uang yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam sejarah. Dajjal menciptakan uang yang created out of nothing. Cukup dengan mencetak angka-angka pada kertas, Dajjal memaksa manusia untuk percaya bahwa sekarang kertas-kertas itu telah bernilai. Peluh keringat, komoditas sumber daya alam dan olahannya, serta hasil kerja keras dibayar dengan sesuatu yang nothing. Yang menguasai peredaran 'uang' dialah yang berkuasa, mengatur, dan menjadi tuan. Selainnya hanya merupakan pion-pion dalam permainan Dajjal.
Sistem Dajjal akan membuat cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar hidup yang rumit. Manusia tidak bisa mengerti cara kerjanya, karena itulah lebih baik mereka tidak usah terlalu memikirkan apa yang dibawa Dajjal, cukup jalani saja, karena hampir seluruh manusia di muka bumi juga melakukan yang sama.
Cara/prosedur/aturan/mekanisme/standar hidup Dajjal dibuat bukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi untuk memecah masalah menjadi berbagai masalah-masalah kecil, dan kemudian membuatnya berkembang menjadi masalah-masalah baru dan besar, kemudian membaginya kembali dan berkembang kembali masalah-masalah baru, begitu seterusnya.
Sistem Dajjal akan memproduksi manusia-manusia yang sudah dididik untuk melihat masalah secara parsial, tidak komprehensif. Dengan demikian manusia akan selalu bergantung pada Sistem Dajjal, karena manusia tidak pernah bisa meyelesaikan permasalahannya.
Dajjal akan mengajak manusia untuk berlomba-lomba dengan apa yang mereka sebut industri. Daya tarik Sistem Industri Dajjal adalah ketika segala sesuatu bisa dijadikan industri, sehingga sangat terbuka peluang untuk menjadi 'kreatif'. Politik menjadi industri, pendidikan menjadi industri, kehidupan rumah tangga menjadi industri, kehidupan privasi menjadi industri, anak-anak menjadi industri, kaum dhuafa menjadi industri, agama menjadi industri, pertemanan menjadi industri, hobi menjadi industri, hiburan menjadi industri, dan sungguh masih banyak lagi, kebanyakan adalah hal-hal yang sebenarnya tidak memiliki manfaat signifikan bagi manusia kalau tidak mau dikatakan lebih banyak kesia-siaan. Tetapi dengan berbagai industri yang tidak akan habis komoditasnya ini, Dajjal membuat manusia percaya bahwa dari sinilah mereka bisa menggantungkan hidup mereka.
Apapun bentuk dan tampilannya, Sistem Dajjal adalah sistem yang membawa manusia pada kekufuran. Sekalipun muslim, Sistem Dajjal akan membuat seorang muslim bisa beriman dan kufur secara periodik. Sedangkan Islam membawa pada keimanan dan keselamatan. Islam tidak membutuhkan apa-apa yang begitu melimpah dan melekat pada Sistem Dajjal.
Islam amat sederhana, sehingga bila ia diterapkan secara kaffah, manusia yang sudah terbiasa dengan Sistem Dajjal akan terheran-heran betapa banyak hal dan perangkat-perangkat yang sebenarnya tidak mereka perlukan. Parameter untuk mengukur baik-buruk dan maju-mundurnya sesuatu dalam Islam adalah hanya keimanan pada ALLAH dan rasul-Nya. Manusia yang baik adalah manusia yang beriman kepada ALLAH dan rasul-Nya.
Peradaban yang maju adalah yang membuat manusianya beriman kepada ALLAH dan rasul-Nya. Cukup, Islam tidak butuh selain dari itu. Kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam dilihat dari semakin tertanamnya rasa takut kepada ALLAH, itu sudah cukup, dan Islam tidak butuh selain dari itu.
Sungguh jalan yang menghubungkan generasi Rasulullah SAW dan para sahabat dengan generasi kita telah diputus oleh Dajjal dengan membangun tembok yang sangat tebal dan tinggi, sehingga membuat kita tidak bisa mengenal lagi jalan untuk kembali pada apa yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Dajjal hanya memperkenankan kita untuk bisa mengenang generasi Rasulullah SAW dan para sahabat, tetapi tidak untuk kembali pada jalan yang telah ditapaki oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Satu-satunya cara bagi kita untuk kembali pada jalan Rasulullah SAW dan para sahabat itu adalah dengan menghancurkan dan merobohkan tembok kemapanan Dajjal. Setinggi, setebal dan sekuat apapun tembok itu harus dihancurkan. Hanya mental jihad pasukan Badar yang bisa melakukan itu.
Islam adalah apa yang berasal dari ALLAH dan rasul-Nya, Muhammad SAW. Tidak ada Islam versi Dajjal. Hanya ada dua pilihan, menjadi Pengikut Muhammad SAW, atau menjadi Pengikut Al Masih Ad Dajjal. Suatu saat pilihan ini akan sangat tegas dan memaksa kita untuk memilih salah satu darinya.
“Telah semakin dekat kepada manusia perhitungan amal mereka, sedang mereka dalam keadaan lalai (dengan dunia), berpaling (dari akhirat). “ (Q.S. Al Anbiya : 1)
“Sungguh telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab (Al Quran) yang di dalamnya terdapat peringatan bagimu. Maka apakah kamu tidak mengerti ?” (Q.S. Al Anbiya : 10)
Sumber Eramuslim
Baca Selengkapnya...
Manajemen Mengeluh
Tidak bisa dipungkiri, makhluk yang namanya manusia pasti pernah mengeluh. Disadari atau tidak, mengeluh seperti sudah menjadi bagian dari hidup. Hanya saja, frekuensi dan kualitas keluhannya yang membedakan antara satu personal dengan personal lainnya.
Biasanya perbedaan ini terkait dengan tingkat pemahaman dan cara pandang seseorang tentang suatu masalah yang sedang ia hadapi. Sabar, ikhlas dan seberapa besar keinginan untuk mengubah sebuah keadaan menjadi lebih baik, biasanya akan meminimalisir keluhan.
Sebaliknya, sikap apriori, pesimis dan berburuk sangka terhadap kejadian yang sedang menimpa secara otomatis akan memunculkan keluhan-keluhan yang alih-alih mendapatkan penyelesaian, malah akan menambah ruwet dan bisa jadi menambah masalah baru.
Mengeluh sejatinya perwujudan dari rasa tidak puas, tidak ikhlas menerima sebuah ketentuan yang terjadi, baik dari segi materi dan non materi. Ketika sakit berkeluh kesah, macet mengumpat, banjir atau kekeringan mengkambing hitamkan orang lain. Atau ketika ditimpa musibah menghardik Tuhan tidak adil, gaji kecil, belum punya rumah dan kendaraan pribadi acap menyalahkan suami (bagi para istri) atau anak-anak nakal dan bermasalah tidak jarang meyalahkan istri (bagi para suami).
Ya, sebagian contoh kecil tersebut adalah manifestasi dari rasa tidak puas. Belum lagi kita saksikan fenomena di negeri yang kita cintai ini. Berita di televisi mayoritas menyuguhkan tentang aksi demo dan kekerasan, kerusuhan dimana-mana, tindak kriminal, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi-kolusi dan nepotisme dan banyak lagi yang kesemuanya menunjukkan pada satu hal : ketidakpuasan! Sebuah potret masyarakat yang diwarnai dengan berbagai keluhan.
Lalu, sebagai seorang yang mengaku muslim dan punya tuntunan yang jelas tentu saja kita tidak akan membiarkan diri kita terperosok lebih jauh ke dalam perbuatan yang sesungguhnya dibenci oleh Allah Swt. Kenapa dibenci oleh Allah Swt.? Karena sesunggunya Allah Swt. menyukai hamba yang senantiasa bersyukur dengan segala ketentuan dan bersabar ketika ditimpa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan.
Melihat fakta yang mayoritas bahwa manusia tidak pernah lepas dari keluh kesah maka sangat penting bagi setiap muslim/muslimah mempunyai manajemen yang tepat agar tidak terpeleset dalam keluh kesah yang tidak diperbolehkan dan pandai menyikapi setiap kejadian yang dihadapi dengan mengacu kepada teladan kita Rasulullah Saw.
Mengeluh Indikasi Tidak Bersyukur
Allah Swt. berfirman dalam QS An-nahl : 18, artinya : “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya.”
Ketika seseorang hanyut dalam keluhan, panca inderanya pun tak mampu lagi memainkan perannya untuk melihat, mendengar, mencium dan merasakan nikmat yang bertebaran diberikan oleh Allah Swt. tak henti-hentinya. Hatinya serta merta buta dari mengingat dan bersyukur atas nikmat Allah yang tiada terbatas. Itulah sifat manusia yang selalu mempunyai keinginan yang tidak terbatas dan tidak pernah puas atas pemberian Allah kecuali hamba-hamba yang bersyukur dan itu hanya sedikit.
Pada zaman Sayyidina Umar al-Khattab, ada seorang pemuda yang sering berdoa di sisi Baitullah yang maksudnya: “Ya Allah! Masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit.”
Doa beliau didengar oleh Sayyidina Umar ketika beliau (Umar) sedang melakukan tawaf di Ka’bah. Umar heran dengan permintaan pemuda tersebut. Selepas melakukan tawaf, Sayyidina Umar memanggil pemuda tersebut dan bertanya, “Mengapa engkau berdoa sedemikian rupa (Ya Allah! masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit), apakah tidak ada permohonan lain yang engkau mohonkan kepada Allah?”
Pemuda itu menjawab, “Ya Amirul Mukminin! Aku membaca doa itu karena aku takut dengan penjelasan Allah dalam surah Al-A’raaf ayat 10, yang artinya: 'Sesungguhnya Kami (Allah) telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber/jalan) penghidupan. (Tetapi) amat sedikitlah kamu bersyukur'. Aku memohon agar Allah memasukkan aku dalam golongan yang sedikit, (lantaran) terlalu sedikit orang yang tahu bersyukur kepada Allah,” jelas pemuda tersebut.
Semoga kita menjadi hamba-hamba yang dikategorikan sedikit oleh Allah dalam ayat tersebut. Dengan selalu menjaga ikhlas dan sabar terhadap segala kejadian atau ketentuan yang diberikan oleh Allah. Dan berprasangka positif bahwa apa yang telah terjadi adalah yang terbaik menurut Allah, sehingga hanya rasa syukur saja yang terlintas di benak, terucap di bibir dan terlihat dari tindakan karena sesungguhnya jika kita bersyukur maka Allah akan menambah nikmat-Nya dan jika kita ingkar, sesunggunya azab Allah sangat pedih (QS Ibrahim:7).
Mengeluh Hanya Pada Allah Swt
Ketika sebuah kejadian yang tidak diinginkan menimpa seseorang, katakanlah ditimpa sebuah masalah yang berdampak menitikkan air mata, menyakitkan hati, membuat kepala berdenyut-denyut dan menjadikan seseorang itu merasa diberi ujian yang sangat berat dan tidak sanggup mengatasinya sendiri, sebuah tindakan manusiawi jika ia membutuhkan orang lain dalam penyelesaian masalahnya. Lalu, benarkah tindakannya jika ia mengeluhkan masalahnya kepada orang lain?
Rasulullah Saw. pernah mengalami sebuah kondisi yang jauh dari yang beliau inginkan. Para kaum musyrikin mengabaikan seruannya dan juga mencampakkan Al-Quran. Mereka telah mengacuhkan Al-Quran dalam beberapa bentuk diantaranya: mereka tidak mau mengimani Al-Quran, mereka tidak mau mendengarkan Al-Quran, bahkan mereka menolaknya dan mengatakan bahwa Al-Quran adalah ucapan dan bualan Muhammad si tukang syair dan sihir . Kaum musyrikin juga berusaha untuk mencegah orang-orang yang berusaha mendengarkan Al-Quran dan dakwah Rasulullah Saw.
Dalam kondisi tertekan tersebut Rasulullah Saw. mengeluh dan mengaduh hanya kepada Allah Swt. seperti yang terkandung dalam QS Al-Furqon : 30, yang artinya : “Dan berkatalah Rasul: Ya Tuhanku! Kaumku ini sesungguhnya telah meninggalkan jauh al-Quran”.
Begitu pula dengan Nabi Ya’qub dan Nabi ayub, sebagaimana firman Allah dimana Nabi Ya’qup berkata, yang artinya: “Sesungguhnya aku mengeluhkan keadaanku dan kesedihanku hanya kepada Allah,“ (QS. Yusuf : 86).
Dan Nabi Ayyub a.s. , yang disebutkan Allah dalam firman-Nya, bahwa Ayyub berkata, yang artinya : “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau (Allah) adalah Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang,”(QS Al-Anbiyaa’: 83).
Sebaiknya, mengeluhlah hanya kepada Allah Swt., karena sesungguhnya semua kejadian sudah menjadi sebuah ketentuan-Nya dan hanya Dia-lah sebaik-baik pemberi solusi. Tetapi dalam kondisi-kondisi dimana seseorang mengeluh (sharing) tentang masalahnya kepada orang yang ia yakini amanah dan dengan catatan untuk mendapatkan penyelesaian, maka dalam hal ini sebagian ulama memperbolehkan.
Sebagaimana Ibnu Qayyim , dalam ‘Uddatu Ash Shabirin, menyatakan bahwa adapun menceritakan kepada orang lain tentang perihal keadaan, dengan maksud meminta bantuan petunjuknya atau pertolongan agar kesulitannya hilang, maka itu tidak merusak sikap sabar ; seperti orang sakit yang memberitahukannya kepada dokter tentang keluhannya, orang teraniaya yang bercerita kepada orang yang diharapkannya dapat membelanya, dan orang yang tertimpa musibah yang menceritakan musibahnya kepada orang yang diharapkannya dapat membantunya.
Membiasakan Diri dengan Mengeluh Positif
Mengeluh positif ? Spontan pasti muncul pertanyaan ketika membaca subjudul tersebut. Iya, ternyata mengeluh tidak selalu berkonotasi negatif. Tidak sabar menghadapi ujian, kurang ikhlas menerima ketentuan dan hasad/iri pada orang lain acap kali membuat diri menjadi tidak berdaya sehingga mengeluarkan kata-kata yang bermakna tidak puas yang merupakan perwujudan dari mengeluh. Tetapi, jika seseorang hasad/iri terhadap kebaikan dan amal saleh orang lain yang membuat dirinya termotivasi untuk berbuat hal yang sama bahkan lebih tanpa mengurangi/menghilangkan kebaikan orang lain tersebut maka hasad model ini dikategorikan sebagian ulama sebagai hasad yang positif.
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang dimaksudkan adalah ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.
Jadi, marilah kita sama-sama membekali diri dengan ketaatan hanya kepada Allah Swt. dengan cara senantiasa mendekatkan diri pada-Nya. Tidak pernah puas untuk mengkaji ilmu-ilmu-Nya agar dalam setiap desahan napas selalu mengaitkan dengan hukum-hukum-Nya. Jika ada niat dan tekad dengan sungguh-sungguh, insya Allah ikhlas dan sabar akan menjadi perhiasan yang akan mewarnai akhlak kita sehari-hari dan kita dihindarkan dari lisan dan sikap yang sering berkeluh kesah. Cukuplah mengeluh positif dalam genggaman, yaitu mengeluh dalam rangka bermuhasabah dan berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga dapat meraih derajat taqwa yang sesungguhnya. Wallahu’alam.
sumber era muslim
Baca Selengkapnya...
Biasanya perbedaan ini terkait dengan tingkat pemahaman dan cara pandang seseorang tentang suatu masalah yang sedang ia hadapi. Sabar, ikhlas dan seberapa besar keinginan untuk mengubah sebuah keadaan menjadi lebih baik, biasanya akan meminimalisir keluhan.
Sebaliknya, sikap apriori, pesimis dan berburuk sangka terhadap kejadian yang sedang menimpa secara otomatis akan memunculkan keluhan-keluhan yang alih-alih mendapatkan penyelesaian, malah akan menambah ruwet dan bisa jadi menambah masalah baru.
Mengeluh sejatinya perwujudan dari rasa tidak puas, tidak ikhlas menerima sebuah ketentuan yang terjadi, baik dari segi materi dan non materi. Ketika sakit berkeluh kesah, macet mengumpat, banjir atau kekeringan mengkambing hitamkan orang lain. Atau ketika ditimpa musibah menghardik Tuhan tidak adil, gaji kecil, belum punya rumah dan kendaraan pribadi acap menyalahkan suami (bagi para istri) atau anak-anak nakal dan bermasalah tidak jarang meyalahkan istri (bagi para suami).
Ya, sebagian contoh kecil tersebut adalah manifestasi dari rasa tidak puas. Belum lagi kita saksikan fenomena di negeri yang kita cintai ini. Berita di televisi mayoritas menyuguhkan tentang aksi demo dan kekerasan, kerusuhan dimana-mana, tindak kriminal, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi-kolusi dan nepotisme dan banyak lagi yang kesemuanya menunjukkan pada satu hal : ketidakpuasan! Sebuah potret masyarakat yang diwarnai dengan berbagai keluhan.
Lalu, sebagai seorang yang mengaku muslim dan punya tuntunan yang jelas tentu saja kita tidak akan membiarkan diri kita terperosok lebih jauh ke dalam perbuatan yang sesungguhnya dibenci oleh Allah Swt. Kenapa dibenci oleh Allah Swt.? Karena sesunggunya Allah Swt. menyukai hamba yang senantiasa bersyukur dengan segala ketentuan dan bersabar ketika ditimpa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan.
Melihat fakta yang mayoritas bahwa manusia tidak pernah lepas dari keluh kesah maka sangat penting bagi setiap muslim/muslimah mempunyai manajemen yang tepat agar tidak terpeleset dalam keluh kesah yang tidak diperbolehkan dan pandai menyikapi setiap kejadian yang dihadapi dengan mengacu kepada teladan kita Rasulullah Saw.
Mengeluh Indikasi Tidak Bersyukur
Allah Swt. berfirman dalam QS An-nahl : 18, artinya : “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya.”
Ketika seseorang hanyut dalam keluhan, panca inderanya pun tak mampu lagi memainkan perannya untuk melihat, mendengar, mencium dan merasakan nikmat yang bertebaran diberikan oleh Allah Swt. tak henti-hentinya. Hatinya serta merta buta dari mengingat dan bersyukur atas nikmat Allah yang tiada terbatas. Itulah sifat manusia yang selalu mempunyai keinginan yang tidak terbatas dan tidak pernah puas atas pemberian Allah kecuali hamba-hamba yang bersyukur dan itu hanya sedikit.
Pada zaman Sayyidina Umar al-Khattab, ada seorang pemuda yang sering berdoa di sisi Baitullah yang maksudnya: “Ya Allah! Masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit.”
Doa beliau didengar oleh Sayyidina Umar ketika beliau (Umar) sedang melakukan tawaf di Ka’bah. Umar heran dengan permintaan pemuda tersebut. Selepas melakukan tawaf, Sayyidina Umar memanggil pemuda tersebut dan bertanya, “Mengapa engkau berdoa sedemikian rupa (Ya Allah! masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit), apakah tidak ada permohonan lain yang engkau mohonkan kepada Allah?”
Pemuda itu menjawab, “Ya Amirul Mukminin! Aku membaca doa itu karena aku takut dengan penjelasan Allah dalam surah Al-A’raaf ayat 10, yang artinya: 'Sesungguhnya Kami (Allah) telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber/jalan) penghidupan. (Tetapi) amat sedikitlah kamu bersyukur'. Aku memohon agar Allah memasukkan aku dalam golongan yang sedikit, (lantaran) terlalu sedikit orang yang tahu bersyukur kepada Allah,” jelas pemuda tersebut.
Semoga kita menjadi hamba-hamba yang dikategorikan sedikit oleh Allah dalam ayat tersebut. Dengan selalu menjaga ikhlas dan sabar terhadap segala kejadian atau ketentuan yang diberikan oleh Allah. Dan berprasangka positif bahwa apa yang telah terjadi adalah yang terbaik menurut Allah, sehingga hanya rasa syukur saja yang terlintas di benak, terucap di bibir dan terlihat dari tindakan karena sesungguhnya jika kita bersyukur maka Allah akan menambah nikmat-Nya dan jika kita ingkar, sesunggunya azab Allah sangat pedih (QS Ibrahim:7).
Mengeluh Hanya Pada Allah Swt
Ketika sebuah kejadian yang tidak diinginkan menimpa seseorang, katakanlah ditimpa sebuah masalah yang berdampak menitikkan air mata, menyakitkan hati, membuat kepala berdenyut-denyut dan menjadikan seseorang itu merasa diberi ujian yang sangat berat dan tidak sanggup mengatasinya sendiri, sebuah tindakan manusiawi jika ia membutuhkan orang lain dalam penyelesaian masalahnya. Lalu, benarkah tindakannya jika ia mengeluhkan masalahnya kepada orang lain?
Rasulullah Saw. pernah mengalami sebuah kondisi yang jauh dari yang beliau inginkan. Para kaum musyrikin mengabaikan seruannya dan juga mencampakkan Al-Quran. Mereka telah mengacuhkan Al-Quran dalam beberapa bentuk diantaranya: mereka tidak mau mengimani Al-Quran, mereka tidak mau mendengarkan Al-Quran, bahkan mereka menolaknya dan mengatakan bahwa Al-Quran adalah ucapan dan bualan Muhammad si tukang syair dan sihir . Kaum musyrikin juga berusaha untuk mencegah orang-orang yang berusaha mendengarkan Al-Quran dan dakwah Rasulullah Saw.
Dalam kondisi tertekan tersebut Rasulullah Saw. mengeluh dan mengaduh hanya kepada Allah Swt. seperti yang terkandung dalam QS Al-Furqon : 30, yang artinya : “Dan berkatalah Rasul: Ya Tuhanku! Kaumku ini sesungguhnya telah meninggalkan jauh al-Quran”.
Begitu pula dengan Nabi Ya’qub dan Nabi ayub, sebagaimana firman Allah dimana Nabi Ya’qup berkata, yang artinya: “Sesungguhnya aku mengeluhkan keadaanku dan kesedihanku hanya kepada Allah,“ (QS. Yusuf : 86).
Dan Nabi Ayyub a.s. , yang disebutkan Allah dalam firman-Nya, bahwa Ayyub berkata, yang artinya : “Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau (Allah) adalah Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang,”(QS Al-Anbiyaa’: 83).
Sebaiknya, mengeluhlah hanya kepada Allah Swt., karena sesungguhnya semua kejadian sudah menjadi sebuah ketentuan-Nya dan hanya Dia-lah sebaik-baik pemberi solusi. Tetapi dalam kondisi-kondisi dimana seseorang mengeluh (sharing) tentang masalahnya kepada orang yang ia yakini amanah dan dengan catatan untuk mendapatkan penyelesaian, maka dalam hal ini sebagian ulama memperbolehkan.
Sebagaimana Ibnu Qayyim , dalam ‘Uddatu Ash Shabirin, menyatakan bahwa adapun menceritakan kepada orang lain tentang perihal keadaan, dengan maksud meminta bantuan petunjuknya atau pertolongan agar kesulitannya hilang, maka itu tidak merusak sikap sabar ; seperti orang sakit yang memberitahukannya kepada dokter tentang keluhannya, orang teraniaya yang bercerita kepada orang yang diharapkannya dapat membelanya, dan orang yang tertimpa musibah yang menceritakan musibahnya kepada orang yang diharapkannya dapat membantunya.
Membiasakan Diri dengan Mengeluh Positif
Mengeluh positif ? Spontan pasti muncul pertanyaan ketika membaca subjudul tersebut. Iya, ternyata mengeluh tidak selalu berkonotasi negatif. Tidak sabar menghadapi ujian, kurang ikhlas menerima ketentuan dan hasad/iri pada orang lain acap kali membuat diri menjadi tidak berdaya sehingga mengeluarkan kata-kata yang bermakna tidak puas yang merupakan perwujudan dari mengeluh. Tetapi, jika seseorang hasad/iri terhadap kebaikan dan amal saleh orang lain yang membuat dirinya termotivasi untuk berbuat hal yang sama bahkan lebih tanpa mengurangi/menghilangkan kebaikan orang lain tersebut maka hasad model ini dikategorikan sebagian ulama sebagai hasad yang positif.
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang dimaksudkan adalah ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.
Jadi, marilah kita sama-sama membekali diri dengan ketaatan hanya kepada Allah Swt. dengan cara senantiasa mendekatkan diri pada-Nya. Tidak pernah puas untuk mengkaji ilmu-ilmu-Nya agar dalam setiap desahan napas selalu mengaitkan dengan hukum-hukum-Nya. Jika ada niat dan tekad dengan sungguh-sungguh, insya Allah ikhlas dan sabar akan menjadi perhiasan yang akan mewarnai akhlak kita sehari-hari dan kita dihindarkan dari lisan dan sikap yang sering berkeluh kesah. Cukuplah mengeluh positif dalam genggaman, yaitu mengeluh dalam rangka bermuhasabah dan berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga dapat meraih derajat taqwa yang sesungguhnya. Wallahu’alam.
sumber era muslim
Baca Selengkapnya...
Langganan:
Postingan (Atom)